PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa,
agama dan bahasa. Kemajemukan ini terjalin dalam satu ikatan bangsa Indonesia
sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat. Selain didasari oleh latar
belakang sosial budaya, geografis dan sejarah yang sama, kesatuan bangsa
Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan. ideologi dan falsafah hidup
dalam berbangsa dan bernegara. Pandangan, ideologi dan falsafah hidup bangsa
Indonesia secara holistik tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi
dasar negara Indonesia. Sedangkan kesatuan pandangan, ideologi dan falsafah
hidup bangsa Indonesia secara eksplisit tercantum dalam lambang negara yang
bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku
bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Kemajemukan bangsa
Indonesia merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang jarang dimiliki
oleh negara-negara lain di dunia. Masing-masing suku bangsa di Indonesia mempunyai
adat-istiadat dan kebudayaan khusus tersendiri yang menjadi identitasnya.
Tanah
Papua memang menyimpan sejuta pesona. Selain hutan rimbanya yang misterius,
budaya yang berlindung dibalik rerimbunan klorofil juga sangat menawan. Selain
flora dan fauna yang masih lestari ditambah panorama alam yang sedap dipandang
mata, Bumi Cendrawasih ini juga memiliki keunikan yang tidak banyak diketahui
oleh orang banyak. Jauh dipedalaman rimba Papua, tepat selatan dikaki
Pegunungan Jaya wijaya tepatnya di wilayah Kabupaten Mappi terdapat suku
Korowai yang tinggal di pesisir sungai Brazza. Kurang lebih 3.000 orang yang
tergabung dalam masyarakat suku Korowai tinggal dengan cara yang masih sangat
tradisional dan menjaga adat istiadat yang mereka percaya.
Suku
bangsa merupakan suatu kelompok yang memiliki ciri khas yang dapat dilihat dari
bahasa, adat istiadat, kebudayaan bahkan wilayah itu sendiri. Setiap kebudayaan
yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat terwujud sebagai komunitas desa,
sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa
menampilkan corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga
masyarakat bersangkutan
Suku
Anak pedalaman menyebut komunitas mereka dengan Orang Rimba, sebagai manusia
yang tinggal di pedalaman hutan. Dan
kehidupan komunitas suku suku di indonesia sarat dengan berbagai ketabuan, dan
secara fisik mungkin kurang menarik dan tidak sedap dipandang mata. Dan mungkin
juga bagi orang yang (merasa) modern mengira bahwa mereka tak punya masa depan
yang jelas dan tidak berperadaban, hidup mereka sederhana. Dan bahkan bagi
secuil orang kini terus menggerus keuntungan dari hutan, dimana orang rimba ini
tinggal. Padahal jika mereka (para penggerus hutan) mau berfikir bahwa
eksistensi suku kubu inilah yang membantu dalam Oleh karena itu, hutan adalah
tempat istimewa bagi mereka. Dan hutan pula yang menjadi sumber nilai dan norma
dan pandangan hidup mereka. Selain itu, pada kehidupan yang dialaminya selalu
sarat dengan ritual-ritual dan berlangsung di hutan serta dianggap oleh orang
modern berbau mistis. Mereka memuja dewa-dewa, diantaranya ada Dewa Kayu , Dewa
Macan , Dewa Trengiling dan Dewa Siamang.
Tujuan
:
Tujuan dari makalah sosiologi ini
adalah untuk mengetahui cara berintrasinya suku korowai sehingga terbentukknya
sistem sosial serta bagaimana cara suku korowai memanfaatkan hutan.
Rumusan
Masalah :
1.
Apakah yang dimaksud
dengan suku Korowai?
2.
Bagaimanakah suku korowai
memanfaatkan alam berupa hutan dalam kehidupannya?
3.
Bagaimanakah sejarah
suku korowai
4.
Apakah sistem yang digunakan masyarakatan
suku korowai
5.
Apakah sistem
kepercayaan suku korowai
BAB
II
ISI
1.1 Mengenal Lebih Dekat
Suku Korowai
Sebagian
besar penduduk asli Papua hidup dari bertani dan mencari ikan. Mereka menanam
ubi-ubian sebagai makanan pokok mereka, disamping sagu yang diperoleh dari
dalam hutan. Penduduk asli yang mendiami wilayah Papua terdiri atas banyak
suku. Masing-masing suku memiliki bahasa sendiri yang berbeda dari suku
lainnya. Suku yang berada di pesisir selatan Papua diantaranya adalah Suku
Marind-anim, Suku Korowai, Suku Asmat, Suku Sempan, dan Suku Kamoro. Suku
Korowai adalah kelompok sosial yang merupakan penduduk asal dalam wilayah Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua. Mereka terutama berdiam dalam wilayah Kecamatan Kouh.
Penduduk Kecamatan ini berjumlah 5.646 jiwa pada tahun 1987. Di antara jumlah
itu termasuk orang Korowai yang berjumlah sekitar 2000 orang. Korowai memiliki
bahasa yang termasuk dalam satu keluarga Awyu-Dumut yang mencakup satu wilayah
luas antara Sungai Eilanden dan Digul
Suku Korowai adalah suku yang
tinggal di tanah Indonesia. Secara geografis, masyarakat Korowai adalah
penduduk Indonesia. Namun jangan tanyakan hal tersebut oleh masyarakat Korowai,
berada di perkampungan masyarakat Korowai seakan berada di tempat lain yang
tidak terpetakan. Menuju ke tempat ini pun harus ditempuh dengan perjalanan
udara, menelusuri sungai, berjalan kaki menembus belantara serta melewati rawa
dan lumpur. Secara lokasi, dapat dipastikan kehidupan masyarakat Korowai masih
sangat tradisional. Tidak ada rumah sakit atau fasilitas umum lainnya. Semua
seakan menyatu dengan alam yang menjadi nilai luhur masyarakat Korowai.
Pakaian Korowai adalah salah satu suku di Irian yang tidak memakai koteka. Kaum
lelaki suku ini memasuk-paksa-kan penis mereka ke dalam kantong jakar (scrotum) dan pada ujungnya mereka balut ketat dengan sejenis daun. Sementara kaum
perempuan hanya memakai rok pendek terbuat dari daun sagu.
Keberadaan suku Korowai atau Kolufu ini
sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an lalu, di mana seorang misionaris
Kristen datang ke sana dan mulai hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris ini pula lah pada akhirnya suku
Korowai mempelajari bahasa mereka, yaitu bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Sebuah tata bahasa dan kamus
telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda.
Peralatan
dan perlengkapan yang digunakan oleh suku Korowai anatara lain rumah, parang
atau kapak (logam atau batu), ainop, tombak, bubu, tali, kulit kayu atau
anyaman daun sagu (sebagai atap rumah), kayu (sebagai kerangka rumah) dan
panah.
1.2 Cara Suku Korowai Memanfaatkan
Hutan Dalam Kehidupannya
Uniknya tidak hanya cara hidup yang
masih tradisional, masyarakat Korowai juga dikenal dengan sebutan “manusia
pohon” karena rumah mereka memang berada diatas pohon. Diatas ketinggian hingga
mencapai 20 meter, masyarakat Korowai tinggal lazimnya orang yang tinggal di
rumah pada umumnya. Uniknya, lokasi rumah yang berada diketinggian pohon
tersebut, tidak menjadi masalah bagi para penghuninya termasuk orang tua
(kakek, nenek) anak kecil, ibu yang menggendong bayi hingga wanita hamil
sekalipun. Rumah pohon yang ditinggali masyarakat Korowai terbuat dari kayu
yang diambil dari sekitar hutan. Cara membangun rumah ini pun masih menggunakan
metode tradisional dengan menggunakan kapak yang terbuat dari batu. Rumah pohon
bagi masyarakat Korowai adalah hal yang sangat krusial dalam kehidupan. Rumah
Pohon dibuat untuk menghindari serangan binatang buas serta nyamuk penyebar
malaria. Selain itu, rumah pohon juga sangat berguna untuk mengontrol hewan
perburuan seperti babi hutan. Selain alasan tersebut, alasan adat mungkin
menjadi alasan kuat mengapa suku Korowai masih mempertahankan rumah pohon
hingga saat ini. Hal tersebut mungkin yang membuat suku Korowai merasa nyaman
untuk tinggal dirumah pohon tersebut karena mengandung nilai adat istiadat yang
tinggi dan dijaga secara turun temurun.
Masyarakat
Korowai sering dianggap terbelakang dari perkembangan sosial yang terjadi pada
ranah domestik maupun internasional. Namun masyarakat Korowai ini adalah bukti
nyata kepedulian sebuah tatanan adat istiadat yang sangat menghargai dan
menghormati budaya serta alam yang selama ini menjadi nilai dasar kehidupan
mereka. Selain itu, keunikan rumah pohon yang menjadi tempat tinggal masyarakat
Korowai juga menjadi simbol pentingnya kebudayaan dan adat istiadat sebagai
tulang punggung kehidupan.
Secara tradisional, mereka hidup terisolasi
dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan. Batas-batas wilayah
geografis setiap marga mencakup wilayah-wilayah tertentu yang terkait erat
dengan roh-roh leluhur. Ritual ulat sagu, pusat kehidupan masyarakat, termasuk
mempersembahkan babi, dilakukan dekat lokasi suci. Seringkali, lokasi ini
didasarkan pada hubungan antara ciri-ciri khas secara geografis dan mitos
asal-usul marga. Batas pemukiman Suku Korowai secara tradisional berupa bentang
alam seperti jurang atau sungai.
Potret
suku korowai berburu untuk makan sehari hari
Suku Korowai hidup dengan menggantungkan pada alam. Pemenuhan kebutuhan
dilakukan dengan berburu, menangkap ikan, dan bahkan berladang. Hewan-hewan
buruan mereka seperti babi hutan, burung kasuari, burung, ular, dan serangga
kecil. Mereka menangkap ikan di sungai dengan bubu dan tombak. Untuk
mendapatkan karbohidrat, mereka mengolah sagu, menanam umbi-umbian, juga
menanam pisang. Sedangkan untuk memenuhi protein, makanan utama mereka adalah
larva kumbang Capricorn. Makanan nabati juga sangat penting bagi mereka.
Terutama daun palem, pakis, sukun dan buah pandanae merah.
potret rumah suku korowai yang berada di ketinggian rimbunan pohon
Beragam
jenis pohon yang digunakan untuk membangun sebuah rumah pohon. Suku Korowai
tidak memanfaatkan jenis kayu tertentu, namun biasanya pohon berdiameter
minimal satu meter menjadi pusat penyangga rumah pohon.Rumah pohon yang lebih
besar memiliki penyekat ruang dan pintu masuk berbentuk runcing di kedua
ujungnya, satu pintu untuk pria dan lainnya untuk wanita. Perapian dari tanah
liat digantungkan di atas ruang terbuka sehingga mudah dipotong dan dijatuhkan
jika bara api tidak terkendali. Rata-rata rumah pohon berukuran sekitar tujuh
kali sepuluh meter. Tulang sisa makanan ditempatkan di bawah atap. Seringkali
rumah dibagi dengan dinding penyekat untuk memisahkan jenis kelamin serta
menghindari pandangan dan kontak dengan kerabat tertentu.Rumah pohon merupakan
produk budaya visual suku Korowai sekaligus sebagai bentuk penciptaan ruang
oleh suku Korowai dalam mewadai aktivitasnya. Konstruksi rumah pohon hanya
dapat bertahan sekitar dua hingga tiga tahun. Arsitektur rumah pohon mencakup
aspek lingkungan hidup, kehidupan sosial, aktivitas suatu komunitas dan
keterkaitan dengan budaya. Rumah pohon merupakan bukti kecerdasan suku Korowai
yang mampu membangun pemukiman pada area yang sulit untuk ditinggali.
Suku
Korowai hanya turun dari rumah untuk mencari makanan, seperti buah-buahan dan
daging. Uniknya, mereka berburu hanya sedang jika lapar. Selain itu, mereka
juga tidak pernah menebang sembarang pohon. Mereka menebang pohon hanya untuk
keperluan secukupnya. Maka tidak heran, jika sudah sejak ratusan tahun Suku
Korowai menetap di hutan Papua, namun hutannya masih lebat dan terjaga
kelestarian flora dan faunanya.Kadang kita harus berkaca pada kehidupan Suku
Korowai tentang keseimbangan alam. Bertamu ke rumah pohon Suku Korowai, akan
menambah kekayaan pada diri Anda tentang ilmu dan kesadaran mencintai alam. Hutan yang lebat dan terjaga kelestariannya, merupakan
ciri tanggung jawab Suku Korowai terhadap alam yang dihuninya. Bukan
hanya pepohonan yang tinggi dan lebat, namun flora dan fauna yang jarang dapat
kita saksikan. Satwa langka atau flora yang langka, sepertinya tidak
berlaku kata 'langka' disini. Hutan lebat nan hijau telah memberikan
kecukupan makanan bagi fauna yang tinggal di dalamnya. Burung Urip, atau
Nuri Papua, kupu-kupu hutan, serangga hutan, bahkan mungkin cendrawasih pun
masih bergeral bebas di hutan Suku Korowai yang katanya suku yang asing, masih
polos dan jauh dari peradaban. Ternyata mereka adalah suku yang sangat bijak
terhadap alamnya, yang menghargai alam sebagai sumber penghidupan mereka.
Merasa cukup hanya dengan menghilangkan lapar di perut, tak pernah berlebihan
mengambil hasil hutan. Hewan, ikan, hanya mereka tangkap di kala lapar,
begitu pun kayu dan tetumbuhan yang hanya mereka ambil untuk keperluan
secukupnya saja.
2.1
Sejarah
Suku Korowai
Di
selatan timur Papua, ada sebuah suku dengan nama suku Korowai atau suku Kolufu, sedikit hal yang dapat diketahui tentang mereka
sebelum tahun 1970-an. Mereka tinggal dibagian selatan dari bagian barat New
Guinea dan dikatakan bahwa mereka dahulunya adalah manusia yang memakan daging
manusia atau kanibal. Kulit mereka ditandai dengan bekas luka, hidung mereka ditusuk
dengan tulang runcing, yaitu tulang burung yang dibengkokkan ke atas dari
lubang hidung mereka. Pada tahun yang sama dimana
seorang misionaris Kristen datang ke Papua dan mulai hidup bersama suku
Korowai. Dari misionaris ini pula lah pada akhirnya suku Korowai mempelajari
bahasa mereka, yaitu bahasa Awyu-Dumut,
sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Pada tahun 1979, misionaris Belanda
tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada
dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota suku Korowai itu
sendiri. Di sini tinggal suku Korowai yang
telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah
anggota suku Korowai yang masih muda. Meski bentuk pengetahuan yang diterima
jauh dari formal, namun suku Korowai terkesan menerima pengaruh dunia luar yang
di bawa oleh misionaris Belanda.
Suku Korowai ini termasuk suku yang dahulu merupakan suku kanibal. Kanibalisme yang terjadi di suku
Papua Korowai merupakan salah satu praktek sihir. Penyihir pemakan manusia
disebut “khakhua” Namun pada tahun
1990-an, suku Korowai telah meninggalkan praktek kanibalisme.
Pada tahun 2010, pemerintah untuk pertama kalinya menyensus suku Korowai
ini dalam data kependudukan Indonesia.Sejak saat itu, bantuan pendidikan mulai
dapat diberikan kepada penduduk Korowai, sebagai bagian dari warga negara
Indonesia.
2.2 Sistem Kemasyarakatan Suku Korowai
Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka.
Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah
Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998).
Klan Korowai hidup di teritorial masing – masing, yang disebut bolup. Mereka
hidup dalam hubungan yang bersahabat dengan klan tetangga atau hidup terisolasi
antar satu klan dengan klan lain. Teritorial satu klan terdiri dari 1-5
kluster rumah pohon (khaim). Dalam satu klan, pada dasarnya hanya berisi
seorang pria dewasa, satu atau lebih istrinya, dan anak – anaknya yang belum
menikah. Klan tersebut juga dapat terdiri dari ibu (kandung atau mertua) yang
sudah menjanda, sepupunya yang belum menikah, atau bahkan
anak dari sepupunya yang masih lajang, sehingga dalam satu klan keluarga dapat
mencapai maksimal 50 orang. Rata-rata dalam satu
klan tinggal di lebih dari dua rumah pohon dengan populasi sekitar 20-30 orang.
Bila anggota klan dapat mencapai hingga lebih dari 50 orang, maka sebagian dari mereka akan pindah ke desa lain dan membentuk
kelompok yang lebih kecil. Kehidupan dalam klan Korowai memiliki suatu adat
tertentu, seperti seorang pria yang menjadi pemimpin keluarga dilarang
bertengkar atau melakukan kekerasan pada mertuanya. Apabila
hal tersebut dilanggar makan anaknya akan terkena penyakit. Anak-anak perempuan
suku Korowai (mbambam) lebih banyak dibesarkan dan tinggal bersama ibunya dan
klan wanita dalam ruangan wanita yang terdapat dalam rumah pohon. Begitu pula
dengan anak laki-laki yang mulai beranjak remaja atau yang sudah akil balig
akan di tempatkan di ruangan laki-laki dalam rumah pohon. Bayi selalu dibawa
dalam suatu tas yang digantung di tubuh sang ibu (ainop) sehingga lebih mudah
disusui kapanpun sang bayi ingin. Perkawinan dalam suku Korowai bersifat
eksogami (kawin campur antar suku) dan poligami. Seorang pria tidak dapat
menikahi istri pertamanya sebelum berusia dua puluh tahun. Namun, seorang
wanita dapat menikah saat baru beranjak remaja atau diusia yang lebih muda
lagi. Pria dalam suku Korowai menjatuhkan pilihan untuk menikahi gadis-gadis di
desanya bukan berdasarkan kecantikan fisik namun kemampuan gadis tersebut dalam
mengumpulkan bahan makanan atau keahlian hidup lainnya.
2.3 Sistem Kepercayaan Suku Korowai
Belum
diketahui pasti apa sistem kepercayaan yang di anut oleh masyarakat suku
Korowai, namun mereka menerapkan sistem kanibalisme secara turun-temurun dari
nenek moyang mereka. Penerapan sistem ini tidak dilakukan
pada sembarangan orang. Namun, sistem ini diterapkan pada orang-orang yang
melanggar peraturan yang ada di suku Korowai tersebut. Salah satunya jika salah
seorang warga diketahui sebagai tukang sihir atau khuakhua. Meski
suku Korowai menerapkan sistem kanibalisme, namun ritual ini sudah semakin
berkurang pada masyarakat Korowai yang mulai mengenal dunia luar.
BAB III
KESIMPULAN
1. Suku
Korowai adalah suku yang tinggal di tanah Indonesia. Secara geografis,
masyarakat Korowai adalah penduduk Indonesia.
2. Masyarakat
Korowai sering dianggap terbelakang dari perkembangan sosial yang terjadi pada
ranah domestik maupun internasional.
3. Masyarakat
Korowai ini adalah bukti nyata kepedulian sebuah tatanan adat istiadat yang
sangat menghargai dan menghormati budaya serta alam yang selama ini menjadi
nilai dasar kehidupan mereka.
4. Keunikan
rumah pohon yang menjadi tempat tinggal masyarakat Korowai juga menjadi simbol
pentingnya kebudayaan dan adat istiadat sebagai tulang punggung kehidupan.
5. Belum
diketahui pasti apa sistem kepercayaan yang di anut oleh masyarakat suku
Korowai, namun mereka menerapkan sistem kanibalisme secara turun-temurun dari
nenek moyang mereka.
6. Suku
Korowai hanya berburu ketika lapar dan hanya menebang pohon
seperlunya untuk membangun rumah sehingga tidak heran walaupun telah lama di
hutan ekosistem tetap terjaga baik dari fauna serta floura.
DAFTAR
PUSTAKA
Alie , M,2013 .Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat Tau Taa Vana Di Tojo Una-Una
Sulawesi Tengah (The Forest
Conservation Tradition Of Indigenous People Of Tau Taa Vana In TojoUna Una
Central Sulawesi diakses dari http:/ /www download. Portal
garuda.org/art icle.php?article=434451&val=6161&title=tradisi
pelestarian hutan masyarakat adat tau
taavan aditouna-unasulawesitengah
Degey,
Engelbertus Pr. 2007. Koteka, Antara
Identitas Diri dan Kemajuan Masyarakat Papua. Diakses dari
(http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=5136,
Hemas K S. 2013.
Representasi Stereotype Terhadap Suku Papua
Korowai (Analisis Semiotika
Tentang Representasi Stereotype Terhadap Suku
Korowai Dalam Film Lost In Papua ). Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Pdf Diakses dari : http://wwweprints.ums.ac.id/26171/10/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi : Pokok-pokoketnografi. Jakarta: Rineka Cipta
Muller. Kal. 2011. Pesisir Selatan Papua.Indonesia : DW. Books
Sigit Wahyu.
dari http://kidnesia.com/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Papua/Seni- Budaya/Rumah-Pohon-Suku-Korowai,
diakses pada tanggal 29-oktober- 2017,
pukul 21.00 WIB.
Komentar
Posting Komentar